Bangunan adalah produksi manusia yang paling kasat mata. Namun, kebanyakan bangunan masih dirancang oleh masyarakat sendiri atau tukang-tukang batu di negara-negara berkembang, atau melalui standar produksi di negara-negara maju. Arsitek tetaplah tersisih dalam produksi bangunan. Keahlian arsitek hanya dicari dalam pembangunan tipe bangunan yang rumit, atau bangunan yang memiliki makna budaya / politis yang penting. Dan inilah yang diterima oleh masyarakat umum sebagai arsitektur. Peran arsitek, meski senantiasa berubah, tidak pernah menjadi yang utama dan tidak pernah berdiri sendiri.
Selalu akan ada dialog antara masyarakat dengan sang arsitek. Dan hasilnya adalah sebuah dialog yang dapat dijuluki sebagai arsitektur, sebagai sebuah produk dan sebuah disiplin ilmu. Pengaruh arsitektur Modern, International style dsbg membuat Arsitektur di Tanah Air seakan tak berwarna lagi, sulit membedakan elemen-elemen tradisional yang melekat pada hunian maupun banguna lokal pada umumnya.Entah melalui kajian yang mendalam tentang lingkungan dan kebudayaan lokal atau tidak, yang jelas warna Arsitektur Tanah air lambat laun tak ada beda dengan warna Arsitektur di daerah lain.
Arsitektur tradisional adalah suatu bangunan yang bentuk,struktur ,fungsi,ragam hias dan cara pembuatannya diwariskan secara turun temurun serta dapat di pakai untuk melakukan aktivitas kehidupan dengan sebaik-baiknya. Dalam rumusan arsitektur dilihat sebagai suatu bangunan, yang selanjutnya dapat berarti sebagai suatu yang aman dari pengaruh alam seperti hujan, panas dan lain sebagainya. Suatu bangunan sebagai suatu hasil ciptaan manusia agar terlindung dari pengaruh alam, dapatlah dilihat beberapa komponen yang menjadikan bangunan itu sebagai tempat untuk dapat melakukan aktivitas kehidupan dengan sebaik-baiknya. Adapun komponen-komponen tersebut adalah : bentuk, struktur , fungsi, ragam hias serta cara pembuatan yang diwariskan secara turun temurun. Selain komponen tersebut yang merupakan faktor utama untuk melihat suatu arsitektur tradisional, maka dalam inventarisasi dan dokumentasi ini hendaknya setiap bangunan itu harus merupakan tempat yang dapat dipakai untuk melakukan aktivitas kehidupan dengan sebaik-baiknya. Dengan memberikan pengertian ini, maka arsitektur tradisional dapat pula dikategorikan berdasarkan kepada aktivitas yang ditampungnya.
Latar sejarah, perkembangan Daerah Istimewa Yogyakarta akan dapat dilihat dari latar belakangsejarah ketiga daerah yang diambil sebagai lokasi penelitian.
Jenis-jenis bangunan , dalam bab pendahuluan telah disinggung, bahwa arsitektur tradisional adalah suatu bangunan atau tempat tinggal ciptaan manusia yang pembuatannya diwariskan secara turun temurun untuk melakukan aktivitas mereka. Jadi sudah barang tentu dalam hal ini pengamatannya dalam beberapa segi perlu melepaskan diri dari arsitektur modern. Bangunan tradisional yang kita lihat sekarang ini perkembangannya melalui suatu proses yang panjang . Pada mulanya bangunan tradisional berfungsi sebagai suatu tempat berlindung manusia dari gangguan binatang buas dan gangguan alam seperti panas, dingin, hujan dan angin. Perkembangan selanjutnya bersamaan dengan cara hidup mereka, yaitu dari hidup berpindah-pindah atau “nomad” sampai hidup secara menetap. Dalam sistem hidup manusia yang berpindah-pindah, bangunan tersebut hanya berupa tempat yang berpindah-pindah, bangunan tersebut hanya berupa tempat berlindung untuk sementara. Tetapi pada suatu saat bangunan itu akan merupakan suatu tempat tinggal atau rumah, manakala manusia itu sudah hidup secara mentap. Hasil produksi rupa-rupanya mempengaruhi pola hidup di suatu tempat. Kalau hasil produksi tersebut melimpah, manusia akan mengucapkan terimakasih dan mengadakan upacara –upacara dan doa bersama-sama. Tetapi sebaliknya, seandainya hasil produksi tersebut gagal, mereka menganggap bahwa mereka tidak mendapat restu dan murka dari tuhan.Rumah tempat tinggal dari masa ke masa mengalami proses perkembangan bentuk. Hal ini disebabkan adanya kebutuhan hidup yang lebih luas dan yang akhirnya membutuhkan tempat yang lebih luas pula. Sejalan dengan ini berkembangnya pula kebudayaan. Oleh karena itu rumah tempat tinggal juga berkembang sesuai dengan proses terbentuknya suatu kebudayaan, yaitu dari taraf yang sederhana ke taraf yang lebih kompleks.
Berdasarkan sejarah perkembangan bentuk, rumah tempat tinggal dibagi menjadi 4 macam yaitu, “panggangpe”, “kampung”, “limasan” dan “joglo”. Sedang bentuk “tajug” tidak dipakai untuk rumah tempat tinggal tetapi untuk rumah ibadah atau rumah pemujaan. Sehubungan dengan itu dalam uraian berikut akan dikemukakan berturut-turut bentuk rumah “panggangpe”, “kampung”, “limasan” dan “joglo”. Nama-nama bentuk tersebut sebenarnya merupakan nama-nama atap rumah tradisional yang menyangkut sebanyak 5 macam, yaitu :
- Panggangpe merupakan bentuk bangunan yang paling sederhana dan bahkan merupakan bentuk bangunan dasar. Bangunan panggangpe ini merupakan bangunan yang pertama dipakai orang untuk berlindung dari gangguan angin, dingin, panas matahari dan hujan.
- Kampung, bangunan yang setingkat lebih sempurna dari “panggangpe” adalah bentuk bangunan yang disebut “kampung”. Bangunan pokoknya terdiri atas “saka-saka” yang berjumlah 4, 6 atau bisa juga 8 dan seterusnya.
- Limasan, bentuk bangunan ini merupakan perkembangan kelanjutan bentuk bangunan yang ada sebelumnya. Kata “limasan” ini diambil dari kata “lima-lasan” yakni pehitungan sederhana penggunaan ukuran-ukuran :” molo” 3m dan “blandar” 5m.
- Joglo lebih sempurna dari bangunan-bangunan sebelumnya. Bentuk bangunan ini mempunyai ukuran lebih besar bila dibandingkan dengan bentuk bangunann lainnya seperti “panggangpe”, “kampung” dan “limasan.
- Susunan ruangan yang terdapat dalam rumah tradisional bergantung kepada besar kecilnya rumah itu dan bergantung kepada kebutuhan keluarga. Jadi makin banyak anggota keluarga itu makin banyak ruangan yang dibutuhkan.
R.Soekmono (1997) seorang ahli percandian Indonesia pernah mengadakan tinjauan ringkas terhadap bangunan candi di Jawa, dinyatakan bahwa bangunan candi di Jawa mempunyai dua langgam, yaitu Langgam Jawa Tengah dan Langgam Jawa Timur. Menurutnya Langgam Jawa Tengah antara lain mempunyai ciri penting sebagai berikut:
(a) bentuk bangunan tambun,
(b) atapnya berundak-undak,
(c) gawang pintu dan relung berhiaskan Kala-Makara,
(d) reliefnya timbul agak tinggi dan lukisannya naturalis, dan
(e) letak candi di tengah halaman.
Adapun ciri candi Langgam Jawa Timur yang penting adalah:
- bentuk bangunannya ramping,
- atapnya merupakan perpaduan tingkatan,
- Makara tidak ada, dan pintu serta relung hanya ambang atasnya saja yang diberi kepala Kala,
- reliefnya timbul sedikit saja dan lukisannya simbolis menyerupai wayang kulit, dan
- letak candi bagian belakang halaman (Soekmono 1997:86).
Demikian ciri-ciri penting yang dikemukakan oleh Soekmono selain ciri-ciri lainnya yang sangat relatif sifatnya karena berkenaan dengan arah hadap bangunan dan bahan yang digunakan. Sebagai suatu kajian awal pendapat Soekmono tersebut memang penting untuk dijadikan dasar pijakan selanjutnya manakala hendak menelaah tentang langgam arsitektur bangunan candi di Jawa. Sebenarnya setiap butir ciri yang telah dikemukakan oleh Soekmono dapat dijelaskan lebih lanjut sehingga menjadi lebih tajam pengertiannya. Misalnya bentuk bangunan tambun yang dimiliki oleh candi Langgam Jawa Tengah, kesan itu terjadi akibat adanya bagian lantai kaki candi tempat orang berjalan berkeliling memiliki ruang yang lebar, dengan istilah lain mempunyai pradaksinapatha yang lebar. Bentuk bangunan tambun juga terjadi akibat atap candi Langgam Jawa Tengah tidak tinggi, atapnya memang bertingkat-tingkat, dan hanya berjumlah 3 tingkat termasuk kemuncaknya. Dibandingkan dengan candi Langgam Jawa Timur jumlah tingkatan atapnya lebih dari tiga dan berangsur-angsur tiap tingkatan tersebut mengecil hingga puncaknya, begitupun pradaksinapathanya sempit hanya muat untuk satu orang saja, oleh karena itu kesan bangunannya berbentuk ramping.
Arsitektur Tradisional
Dalam kesempatan ini uraian yang di pusatkan pada system teknologi khususnya arsitektur di nusantara sebagai salah satu manifestasi dan ekspresi kebudayaan. Sesungguhnya perumahan (shelter) merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang tidak mengenal waktu, tempat, dan tingkat teknologi. Sebagai salah satu manifestasi dan ekspresi kebudayaan. Sesungguhnya perumahan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang tidak mengenal waktu ,tempat, dan tingkat teknologi. Kita masih ingat betapa nenek moyang kita yang hidup pada jaman batu telah mengembangkan system perlindungan fisik, yaitu perumahan di goa-goa, kemudian disusul dengan penggunaan tenda-tenda tadah angin ataupun tenda yang sifatnya sementara karena seringnya nenek moyang kita berpindah mengikuti binatang perburuan ataupun musim panen tanaman liar. Apabila mereka sudah mulai bercocok tanam dan menetap di perkampungan, maka perkampungan semi permanen pun di bangun.
Apabila diperhatikan dengan seksama, uraian tersebut menunjukkan cara berfikir yang evolusionis. Sementara itu kita dapat pula melihatnya dari sudut pandangan fungsionis ataupun struktualis. Akan tetapi sebaiknya kita telaah arsitektur tradisional secara menyeluruh sehingga dapat dipahami kaitannya dengan nilai-nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Untuk keperluan tersebut, kita telaah arsitektur-arsitektur tradisional dengan memperhatikan kegunaan (use), fungsi (function) , dan arti social (meaning) disamping wujud dan gayanya.
Kegunaan rumah khususnya bangunan tradisional itu bereneka ragam, sesuai dengan struktur masyarakat dan kebudayaan penduduk yang bersangkutan. Akan tetapi pada umumnya sebagai bangunan tradisional mempunyai kegunaan sebagua pelindungan fisik terhadap dinginnya udara, panasnya matahari atau derasnya angin serta air hujan. Kalu kita perhatikan dengan sungguh-sungguh ada rumah-rumah yang sekedar menjadi tempat-tempat perlindungan sementara orang perlu istirahat (windscreen) pada penduduk asli Australia, misalnya : masyarakat Arunta sebagian besar waktunya dihabiskan di alam terbuka untuk berburu binatang reptile yang langka, meramu ataupun bercengkrama dengan sesamanya. Sebaliknya ada pula penduduk yang memanfaatkan tempat berlindung semaksimal mungkin untuk bekerj, beristirahat maupun menyelenggarakan pertemuan social seperti pada kebanyakan masyarakat petani yang sudah menetap.
Setelah kemerdekaan, bangsa kita telah memilih bentuk republic bersifat demokratis. Ditilik secara historis maka bentuk tatanan republic yang demokratis, adalah salah satu hal yang sama sekali baru bagi bangsa Indonesi. Sejarah Indonesia sebelumnya hanya mengenal bentuk tatanan kerajaan yang otokratis, lengkap dengan perangkat feodalnya. Oleh karena itu, mudah dimengerti bahwa banyak terjadi kekikunan dan kesalahpahaman mengenai arti kaidah-kaidah kehidupan yang baru ini. Banyak norma kehidupan sehari-hari harus ditukar dengan yang baru. Terjadi kekacauan norma selama norma baru yang di terima semua pihak belum tercipta. Timbul kerancuan budaya.
Ciri Budaya dan Arsitektur Tradisional
Suatu karya arsitektur hamper selalu, secara disadari atau tidak, mencerminkan ciri budaya dari kelompok manusia yang terlibat di dalam proses penciptaanya. Sekurang-kurangnya akan tercermin di situ tata nilai yang mereka anut. Dengan demikian apabila kita secara cermat mengamati sejumlah karya arsitektur suatu masyarakat maka lambat laun kita pasti dapat mengenali cirri budaya masyarakat tersebut. Namun untuk dapat mengenalinya dengan benar-benar baik kita akan perlu mengenali kondisi lain dari masyarakat tersebut.
Sebagai contoh kita dapat mencoba menganal gejala budaya masyarakat kita sendiri dengan mengamati karya arsitektur di sekeliling kita.
Arsitektur Perubahan Elite di Jakarta
Mengamati arsitektur ini cukup relevan karena :
- Jakarta adalah pusat orientasi budaya Indonesia masa kini
- Golongan elite di Indonesia sangat berperan dalam mempengaruhi tata nilai masyarakat karena masih kuatnya sikap feodal di masyarakat kita.
Dari pengamatan perkembangan arsitektur sector ini terasa adnya alur kecenderungan tertentu yaitu :
· Perubahan mode bentuk yang relative cepat/sering. Hal ini menunjukkan belum mantapnya kedudukan suatu ungkapan arsitektonis tertentu yang “pas” dengan hasrat dan keinginan golongan elite tersebut. Dengan perkataan lain mereka masih mencari-cari ungkapan yang dirasakan tepa.
· Sikap individualistic secara konsisten tetap bertahan. Hal ini tercermin dari bentuk disain yang sangat mengabaikan keadaan lingkungan sekitarnya dan mencerminkan tiadanya rasa solidaritas dengan masyarakat sekelilingnya. Terungkap juga pemahamannya terhadap kemerdekaan dan haknya sebagai individu yang merdeka.
· Penonjolan kemewahan kini dibarengi juga oleh penonjolan cirri aristokratis. Hal ini mengungkapkam adanya kebutuhan kuat untuk menciptakan atribut status social. Demikian kuatnya kebutuhan atribut ini sehingga terasa fungsi utama rumah sudah tergeser bukan lagi sebagai gua garba keluarga (fungsi primer) tetapi lebih sebagai aktualisasi diri (fungsi sekunder).
Gejala-gejala budaya tersebut memang makin tersa kokoh di masyarakat kota Jakarta bila kita mengamati pula bentuk kehidupan lainnya. Bila kemudian kita amati perumahan golongan yang lebih rendah di daerah pelosok kota atau di kampung-kampung maka kita melihat juga imitasi mode tersebut dalam skala mini atau terbata. Gejala ini mencerminkan tingkat kesadaran dari masyarakat golongan bawah mereka mempunyai hak untuk berbuat yang sama dengan golongan atas. Suatu hal yang tabu dilakukan di masa lalu.
Ciri Arsitektur Tradisional
Mengingat norma, kaidah, dan tata nilai dalam masa kini masih banyak kemungkinan berubah maka dalam usaha mencari identitas budaya yang dapat diterapkan pada bangunan baru disarankan sebagai berikut. Arsitektur yang mempunyai identitas yang sedikit atau tidak dipengaruhi oleh perubahan norma tata nilai. Ciri-ciri ini dalam Arsitektur Tradisional untuk diterapkan pada bangunan baru.
Iklim merupakan factor yang tidak berubah (relative) Indonesia beriklim tropis panas dan lembap. Karena letaknya di sekitar khatulistiwa antara garis-garis lintang utara dan selatan maka sepanjang tahun sudut jatuhnya sinar matahari tegak lurus, hal mana mengakibatkan suhu yang selalu panas. Ciri Arsitektur Tradisional yang berkaitan dengan iklim yang panas misalnya atap yang mempunyai sudut yang tidak terlalu landai.
Disamping itu ruang-ruang yang terbuka, dimana dinding tidak menutup rapat ke bidang bawah atau lanmgit-langit memungkinkan ventilasi yang leluasa, hal mana mempertinggi comfort dalam ruang.
Dinding atau bidang kaca yang berlebihan, apalagi tidak di lindungi terhadap sinar matahari langsung, dan hujan tidak sesuai untuk iklim tropis.
Kita sering menggunakan air conditioning untuk ruang-ruang yang jika direncanakan dengan tepat sebenarnya tidak memerlukannya. Energy yang diperlukan untuk air conditioning cukup besar. Dalam Negara yang sedang menganjurkan hemat energy, hendaknya penggunaan air conditioning juga dibatasi. Rumah Tradisional Jawa dan Bali merupakan open air habitation.
Arsitektur Perkotaan
Pada gedung-gedung perkotaan yang disewakan (komersial) kita akan menemukan gejala yang agak berbeda. Gedung-gedung tersebut umumnya dibangun dengan penekanan yang kuat dalam ciri pretise. Atribut yang biasanya dikenakan bukan saja kemewahan tapi juga atribut ke-internasionalan, kemodernan dan teknologi tinggi. Pada hal gaya internasional jet-set ini telah mereka tinggalkan untuk bentuk rumah tinggal mereka. Nampaknya ada gejala penerapan standar ganda bagi mereka yaitu di kantor bercitra modern-hightechnology tapi di rumah bercitra aristokrtis.
Pada gedung-gedung perkantoran pemerintah terdapat cirri yang berbeda. Kemewahan tidak terasa menonjol, meskipun di sana sini terlihat adanya keinginan untuk itu (tapi terhalang biaya), tapi sering terasa adanya keinginan kuat untuk menampilkan citra wibawa. Hal ini terceminkan dari bentuk yang simetris, tempat masuk utama yang ingin megah atau penjagaan yang ditonjolkan. Gejala lain yang sering terasa menyolok adalah penyediaan fasilitas yang menyolok berbeda antara pejabat tinggi dengan segenap bawahannya.
Selain itu disediakan untuk publik selalu sangat minim, terbatas pada loby di tempat masuk utama dan di lorong-lorong. Gejala-gejala tersebut mengungkapkan sikap aparat pemerintahan yang berorientasi pada status penguasa dan adanya sikap yang feodalistik antara atasan dan bawahan.
Arsitektur adalah produk dari kebudayaan
Kalau seseorang dapat menerima bahwa arsitektur adalah wadah kegiatan. Tidaklah sukar untuk mengerti anggapan pada butir ini. Selama diikuti dengan pngertian bahwa arsitektur adalah bagian dari kebudayaan (dan saling mempengaruhi). Kita akan lebih mudah mengamati kejadian-kejadian di masyarakat. Kesulitan akan timbul bila di sertai dengan pendapat bahwa arsitektur adalah “hardware” sedangkan kebudayaan adalah “software”.
Dalam dunia computer hal ini dapat dipahami,namun tidak di dunia bangunan. Arsitektur dalam dunia bangunan sudah menyimpan “program-program” tertentu yang sewaktu waktu dapat “dimainkan”. “program-prpgram ini pada saat tertentu dapat menghasilkan penampilan yang bersuasana gembira,khusus,atau bahkan mendirikan bulu roma”.
Arsitektur adalah “Alat Ungkap” dari Kehidupan Masyarakat
Tersirat dalam anggapan ini adalah bahwa arsitektur juga merupakan media komunikasi bagi masyarakatnya. Sebelum diketemukannya alat cetak, semua benda buatan manusia menjadi “buku” untuk menitipkan pesan-pesan social. Paradigma nilai-nilai, moral, dan lain-lain adalah pesan yang harus dimengerti oleh anggota masyarakat.
Bangunan, sebagai benda terbesar, adalah : “buku dengan format yang ideal” bagi penulisan semacam ini. Makin canggih sebuah masyarakat, makin sarat pula pesannya diletakkan pada bangunannya. Kemajuan teknologi komunikasi telah membebaskan bangunan dari beban-beban diatas. Namun juga demikian masih tetap diakui bahwa bagaimanapunjuga bangunan merupakan media komunikasi yang efektif bagi manusia.
ARSITEKTUR SEBAGAI SENI-STRUKTUR
Pengertian arsitektur
Istilah “arsitektur” berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari suku kata “arkhe’ yang berarti “asli” dan suku kata “tekton’ yang berarti “kokoh”. Jadi dalam pengertiannya yang semula “arsitektur” dapat diartikan sebagai sesuatu cara asli untuk membangun secara kokoh.memang sejak manusia keluar dari gua-guanya untuk membangun, apakah itu rumahnya atau tempat peribadatannya, ia terus-menerus bergulat melawan kekuatan-kekuatan alam : gaya tarik bumi, hembusan angin kencang, goncangan gempa, teriknya sinar matahari atau dinginnya salju.
Melalui proses coba-mencoba (trial and error) selama bergenerasi terbentuklah suatu tradisi membangun yang khas (yang asli) dengan menggunakan bahan bangunan-bangunan yangkokoh terhadap kekuatan alam sekitarnya. Kemudian, karena kesadaran akan keindahan merupakan naluri alami manusia, maka dalam semua tradisi membangun masuklah unsur estetika atau unsur seni tertentu yang mewarnai ciri arsitektur pada kurun waktu tertentu. Adakah konsekuensi logis bahwa sejak awal perkembangan peradaban manusia, seorang arsitek merupakan tokoh masyarakat yang unik : ia adalah seorang teknorat dan seorang seniman sekaligus, seorang perancang dan seorang ahli membangun sekaligus. Personifikasi arsitek seperti ini mencapai puncaknya pada diri Michelangelo yang dalam zaman renanaissance menjelmalkan sirinya sebagai : perancang, pembangunan, pelukis dan pematung sekaligus (a.l. pada gereje St.Petrus di Roma).
Berpangkal pada pengertiannya seperti dikemukakannya diatas, arsitektur telah berkembang sesuai dengan perkembangan lingkungannya. Di Eropa misalnya, factor-faktor kekuatan alam tidak terlalu berpengaruh terhadap kekokohan struktur bangunan yang di bangun dengan cara tradisional, pengertian arsitektur mengalami perubahan.unsur seni (art) yang masuknya ke dalam pengertian arsitektur justru terjadi belakangan, masalah semakin menonjol : sebaliknya unsur strukturnya semakin memudar. Dengan perkembangannya teknologi, termasuk teknologi membangun, timbullah reaksi terhadap perkembangan arsitektur demikian.
Sekelompok pemikir ingin mengembalikan arsitektur ke dalam relnya yang semula dengan menyatakan bahwa arsitektur adalah jalur insinyur dan bukan jalur seniman. Maka timbullah pertentengan pendapat mengenai isyu ini yang tak ada habis-habisnya sampai masa kini yang telah melanda hampir seluruh dunia (Ecole des arts vs Ecole polytecthique di Prancis :Harvard vs MIT di Amerika Serikat : dan sebagainya),termasuk di Indonesia.
Di Jepang perkembangannya lain sama sekali. Lingkungan alam yang kejam dan ganas yang setiap saat mengancam kelangsungan hidup manusia dengan gempa-gempa dahsyat yang dapat menyerang setiap saat dan topan-topan kencang yang datang secara berkala, telah menanamkan dampak yang kuat dalam perkembangan arsitektur adalah urusan insiyur dan bukan urusan seniman. Architectural Institute of Japan ( A.I.J.) adalah lembaga tertinggi di jepang yang sampai saat ini mengurusi segala hal ikhwal mengenai bangunan. Tetepi yang diurus bukanlah urusan seni melainkan urusan struktur.lembaga ini adalah yang menerbitkan berbagai peraturan mengenai perencanaan bangunan tahan gempa, peraturan beton, baja, dan segi-segi struktur lainnya.
Bagaimana sekarang di Indonesia? Seperti telah dikemukan diatas, Indonesia telah ikut terseret ke dalam pertentangan isu apakah jalur arsitek itu jalur insinyur ataukah jalur seniman. Hali ini dapat dimengerti mengingat para pendiri pondasi bagi perkembangan arsitektur di Indonesia adalah orang-orang Belanda yang dengan sendirinya sangat terpengaruh oleh perkembangan arsitektur di Eropa (karsten, MacLine Pont, Van Romondt, Dicke,dan lain-lain) yang jelas adalah, bahwa perkembangan teknik struktur di Indonesia relative lambat masuknya sehingga tidak sempat berintegrasi dengan baik ke dalam perkembangan arsitektur. Tidak mengherankan bahwa, sempat terjadi pembudayaan konsep-konsep bentuk bangunan dari Eropa yang tidak cocok dilihat dari ketahanannya tehadap gempa. Suatu contoh yang sangat menyolok yang kiranya sempat membekas pada arsitek-arsitek Indonesia adalah kecenderungan yang salah untuk menggambar atau merencanakan kolom-kolom bangunan berbentuk persegi panjang, yang seperti kita ketahui hanya mempunyai kekuatan yang besar satu arah saja. Hali ini terjadi, karena mereka tidak sempat diajari, bahwa gempa itu biasa terjadi dari segala arah. Andai kata pengertian struktur telah disadarkan dengan tepat, segyogyanya kolom-kolom bangunan itu direncanakan berbentuk bulat atau bujur sangkar (bukan persegi panjang), karena bentuk demikian mempunyai kekuatan yang (praktis) sama ke segala arah.
Kembali kepada isu apakah arsitek itu alur insinyur ataukah jalur seniman, di Indonesia terjadi suatu perkembangan tersendiri. Secara formal para arsitek lulusan universitas diberi gelar “insinyur”(Ir). Secara operasional pengertian arsitektur di Indonesia dewasa ini kiranya dapat dilukiskan sebagai berikut :
Tugas utama arsitek adalah memecahkan maslah kebutuhan manusia modern beserta lingkungannya dengan menciptakan ruang dan bentuk yang memadai (Nuttgens, 1980: Architecture is an expression of human experience in the creation of husable space).
Namun disadari benar, bahwa kekuaan struktur (dan segi-segi teknologi lainnya) haru ikut terpecahkan dan ini adalah tuga para ahlu yang bersangkutan.
Arsitektur tradisional ialah suatu bangunan yang bentuk, struktur fungsi, ragam hias, dan cara pembuatannya diwariskan secara turun menurun serta dapat dipakai untuk melakukan aktivitas kehidupan dengan sebaik-baiknya. Berdasarkan aktivitas kehidupan yang ditampungnya, arsitektur tradisional dapat dikelompokan ke dalam beberapa jenis bangunan, yakni bangunan tempat tinggal atau rumah, bangunan tempat ibadah, bangunan tempat musyawarah, dan bangunan tempat menyimpan. Semua jenis bangunan yang termasuk ke dalam arsitektur tradisional itu akan diinventariskan dan didokumentasikan dengan mengingat komponen-komponen di atas. Namun karena adanya keterbatasan memperoleh sumber mungkin saja ada satu atau beberapa unsur lainnya yang belum dapat diungkapkan.
Contoh nyata yang akan kita ambil di sini adalah daerah Jawa Barat. Bangunan-bangunan tempat tinggal atau rumah yang terdapat di daerah penelitian memiliki nama-nama yang beda, perbedaan antara bangunan yang satu dengan bangunan yang lainnya. Perbedaan itu disebabkan oleh bentuk atap dan pintu rumah yang berbeda beda pada masing-masing bangunan tempat tinggal. Di lihat dari bentuk atapnya, rumah-rumah tradisional di daerah penelitian ternyata menunjukkan perbedaan dengan rumah-rumah tradisional yang terdapat di daerah-daerah lain di luar Jawa Barat, seperti nampak pada Rumah Gadang di Sumatera Barat, Aceh,Batak atau Rumah Toraja. Beberapa nama bangunan tempat tinggal, di daerah penelitian jika dilihat dari bentuk atapnya, ialah: suhunan jolopong, tagong anjing, badak heuay, parahu kumureb, dan jubleg nangkub. Sedangkan kalau dilihat dari pintu masuknya dikenal pula rumah buka palayu dan buka pongpok.
Tipologi:
Suhunan Jolopong, bentuk Jolopong memiliki dua bidang atap saja. Kedua bidang atap ini dipisahkan oleh jalur suhunan di tengah bangunan rumah, balikan jalur suhunan itu sendiri merupakan rangkap dari kedua bidang atap. Batang suhunan sama panjangnya dan sejajar dengan kedua sisi bawah bidang atap yang sebelah menyebelah. Sedangkan pasangan sisi lainnya lebih pendek dibanding dengan suhunan dan memotong tegak lurus .
Tagong Anjing
Bentuk atap tagong anjing memiliki dua bidang atap yang berbatasan pada garis batang suhunan. Bidang atap yang pertama lebih lebar dibanding dengan atap lainnya, serta merupakan penutup ruangan. Sedangkan atap lainnya yang sempit, memiliki sepasang sisi yang sama panjang dengan batang suhunan bahkan batang suhunan itu merupakan puncaknya. Tiang-tiang depan pada bangunan dengan atap tagong anjing lebih panjang dibandingkan dengan tiang-tiang belakangnya, batang suhunan terletak di atas puncak-puncak tiang depan.
Badak Heuay
Bangunan dengan atap yang sangat mirip dengan tagong anjing, perbedaannya hanya pada bidang atap belakang. Bidang atap ini langsung ke atas melewati batang suhunan sedikit. Bidang atap yang melewati suhunan ini dinamakan ‘rambut’.
Parahu Kumureb
Bentuk atap ini memiliki empat buah bidang atap. Sepasang bidang atap sama luasnya berbentuk trapesium sama kaki. Letak kedua bidang atap ini sebelah menyebelah dan dibatasi oleh garis-garis suhunanyang merupakan sisi bersama.
Jubleg Nangkub
Bentuk atap memiliki lima buah bidang atap, satu bidang berbentuk trapesium siku-siku, satu bidang berbentuk segi tiga sama kaki, dan pada sisi lainnya tidak berbidang atap. Pada bentuk tap terdapat dua buah batang kayu yang menhubungkan satu di antara ujung batang suhunan kepada kedua sudut rumah, secara landai sehingga terbentuknya satu bidang atap segi tiga.
Julang Ngampak
Bentuk atap yang melebar di kedua sisi bidang atapnya jika dilihat dari arah muka rumahnya. Bentuk atap demikian menyerupai sayap dari burung julang yang sedang merentang. Bentuk-bentuk demikian dapat dijumpai di daerah-daerah Garut, kuningan dan termpat-tempat lain di Jawa Barat.
Ruangan yang terletak di bagian yang disebut ’emper’ fungsinya untuk menerima tamu. Pada waktu dulu ruangan ini dibiarkan kosong tanpa perkakas rumah. Ruangan ‘balandongan’ yang terletak paling depan dari ruangan lain, berfungsi untuk menambah kesejukan bagi penghuninya di dalam rumah. Ruangan yang disebut ‘pangkeng’ dipergunakan sebagai tempat tidur. Sejenis dengan pangkeng ialah ‘jobong’ uyang dipergunakan untuk menyimpan barang-barang atau disebut gudang. Ruangan bagian tengah disebut ‘tengah imah’ bagian ini dipergunakan sebagai tempat berkumpulnya keluarga.
Bangunan tempat ibadah
Tipologi;
Mesjid merupakan bangunan dengan denah bangunan yang berbentuk bujur sangkar. Pada mesjid-mesjid yang lebih muda umumnya, di samping denah bujur sangkar terdapat pula serambi-serambi di depan, kiri dan kanan. Serambi-serambi itu merupakan ruangan-ruangan hasil penambahan kemudian. Ciri utama yang menandai bangunan mesjid adalah bentuk atapnya yang besar dan lebar yang terletak diatas bangunan utama. Bagian inilah yang memiliki empat tiang utama yang lazim disebut ‘saka guru’. Saka ini berfungsi untuk menyangga seluruh gaya berat bangunan tersebut. Atap dari ruangan mesjid yang berbentuk bujur sangakar adalah atap tumpng yang tersusun makin kre atas makin kecil. Tingkatan yang paling atas, biasanya ditutupi dengan atap lainnya dalam bentuk limas. Bagian paling atas ini disebut ‘momolo’. Bagian-bagian pokok daripada mesjid adalah mihrab, mimbar, dan ruangan sembhayang,
Bangunan tempat musyawarah
Nama bangunan tempatmusyawarah atau yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan bale desa. Menuruti pola rumah tinggal dengan sistem kolong, mungkin pula bangunan tersebut tidak berdinding, sehingga memudahkan orang untuk datang berkunjung.
Bentuk-bentuk bagian:
Atap berbentuk atap jure, disebut juga atap limasan. Atap ini ditandai oleh adanya kayu kayu jure yang menghubungkan ujung susuhunan ke arah empat sudut bangunan. Tiang-tiang bangunan yang berbentuk segi empat berukuran masing masing segi tidak kurang dari 20cm, tiang tiang ini berjumlah empat buah yang berfungsi menunjang rangka atas bagian atas. Pintu bale berbentuk empat persegi panjang, kecuali pintu-pintu masuk di kanan kiri bangunan. Pintu-pintu masuk itu merupakan pintu-pintu pendek yang tersusun dari lempengan kayi berjarak tertentu. Tangga untuk naik ke dalam bangunan ini, terdapat di bagian kiri dan kanan di depan pintu-pintu masuk yang terbuat dari kayu berumpak. Dinding banngunan bagian belakang yang disebut pangkeng terbuat dari anyaman bamboo. Dinding ini dipasang setinggi tiang-tiang bangunan dari ujung lantai ke ujung tiang. Dinding-dinding pagar yang dipasang di bagian pinggir bangunan dan berukuran setengah badan manusia. Di bagian bawah rangka atap, terdapat langit-langit, disebut ‘gelebeg’ terbuat dari papan-papan kayu separti pada lantai. Lantainya terbuat dari palupuh yakni papan-papan kayu yang disusun rapat melintang sepanjang bangunan.
Bangunan tempat menyimpan
Bangunan tempat menyimpan bagi masyarakat sunda disebut ‘leuit’. Sebutan leuit terdapat di daerah Priangan dan Banten. Di daerah Cirebon disebiut ‘lumbung’.
Tipologi:
Bentuk leuit ini melambangkan kemakmuran dari kesuburan setiap keluarga petani. Pada masa lampau , ketika bangunan leuit masih terhitung banyak, ukuran kekayaan seseorang atau keluarga dapat dilihat dari besar kecilnya leuit. Banyak leuit yang didirikan seseorang petani, menentukan kedudukan orang tersebut dalam pandangan masyarakat. Leuit memiliki denah segi empat atau bujur sangkar dan atapnya berbentuk perisai. Biasanya bangunan ini lebih tinggi dari badan manusia, karena itu seseorang harus mempergunakan tangga untuk naik ke dalam leuit.
Bagian-bagian Leuit:
Umpak, bagian ini terletak paling bawah dari seluruh bangunan. Bagian ini terbuat dari batu atau batu bata, bagian ini berfungsi untuk menahan pangkal daripada tiang leuit agar tidak menancap ke dalam tanah. Tiang leuit, berupa balok kayu dari jenis yang kuat berjumlah empat buah, fungsinya untuk menahan seluruh gaya berat bangunan. Bilik yaitu dinding yang terbuat dari anyaman bamboo untuk menutupi ruangan leuit. Iga, yaitu papan yang dipasang melintang di luar bilik. Fungsinya untuk menjepit bilik atau menahan bila ada tekananakibat isi leuit yang padat. Cangkok, yaitu kayu-kayu yang dipasang mendatar di tepi bagian leuit. Anting-anting kayu pendewk yang dipadsang melintang dengan tiang leuit, fungsinya untuk memperkuat dan menahan atap serta tiang leuit. Cabrik yaitu penutup atap samping kanan dan kiri. Ontob yaitu kayu untuk penutup atap ujung bawah. Ampig, yaitu kayu-kayu yang disusun penutup bagian kiri dan kanan rangka atap bangunan. Panto leuit, yaitu bagian dari leuit berletrak di bagian ampig berukuran krecil yang fungsinya untuk jalan keluar masuknya padi yang akan disimpan dan dikeluasrkan. Hateup yaitu atap leuit yang terbuat dari genteng atau bahan lainnya. Paparan, yaitu bagian amping terletak di atas leuit, sdehingga menyerupai para atau ruangan atas pada rumah tinggal.
LANDASAN ARSITEKTUR INDONESIA
Arsitektur Indonesia adalah arsitektur yang memenuhi kebutuhan manusia Indonesia. Persoalan akan segera bergeser menuju kebutuhan akan perumusan kebutuhan manusia Indonesia ini.Lalu siapakah yang menetapkan kebutuhan manusia Indonesia ini? Manusia Indonesia seluruhnya, atau diwakilkan saja pada para arsitek, atau para ahli perumus kebutuhan manusia yang sekarang ini agaknya sedang berbunga-bunganya? Para perumus kebutuhan manusia Indonesia inilah yang biasa disebut kaum cerdik cendekiawannya, baik yang terdiri dari kaum teknokrat maupun apa yang disebut intelektual yang sangat heterogen, terbesar, dan sering anti struktur. Persoalan jadi : apakah perumus kebutuhan manusia Indonesia yang diwakili oleh para cerdik cendekiawan ini sampai sekarang sudah bisa dikatakan benar-benar mewakili kebutuhan manusia Indonesia? Karenanya, maka pembicaraan tentang landasan kebutuhan manusia Indonesia sebagaimana diungkapkan oleh para cerdik cendekianya.
Arsitektur Hindia-Belanda
Angka rata-rata diatas memang tidak terlalu merisaukan bagi lungkungan tadisional, yang ekologinya masih baik dengan lahan yang longgar dan bahan bangunan yang alami. Walau demikian, lain halnya bagi para penjajah Belanda. Gaya disesuaikan dengan iklim topis. Plafonnya tinggi, dindingnya tebal, lubang ventilasi ditempatkan di berbagai sudut. Pada rumah tinggal, jendela-jendela lebar berkisi diberi tritis. Yang menarik adalah berandanya yang sangat luas, mencakup antara 25 sampai 35 persen dari luas bangunan, sebuah konsep ruang hasil adaptasi terhadap ruang serambi pada arsitektur tadisional Nusantara. Antara rumah induk dan dapur atau bangunan kecil dihubungkan dengan selasar-selasar terbuka.
Arsitek colonial atau arsitektur Hindia-Belanda ini kemudian menjadi orientasi bagi para pedagang pribumi, santri, Cina, dan priyayi. Pada tahap selanjutnya banyak rumah sakit dan sekolah dibanun dengan gaya serupa.
Diantara karya-karya arsitektur tropis colonial ini, ternyata bias kita jimpai jenis arsitektur tropis yang Indonesia. Ambilah contoh kampus ITB (Institut Teknologi Bandung) yang dirancang Mc. Laine Pont. Yang sangat Indonesia dan berfungsi untuk social budaya modern adalah Teater Sobokarti di Semarang. Ini dirancang oleh Thomas Karsten dengan konsep yang dia tulis dalam sebuah artikel di JAwa pada tahun 1921. Berdenah teater romawi, tapi seluruh ekpresi arsitekturnya adalah arsitektur Jawa dan tropis. Hat\rus diakui, arsitek Belanda pencinta arsitektur tradisional Indonesia yang menyempal ini, ternyata sangat serius dalam penyiasati iklim tropis.
Arsitektur Tropis Indonesia
Sejak kemerdekaan, yang laku adalah gaya arsitektur burban Eropa tahun 20-an. Gaya modern mulai disenagi, dijiplak tanpa imajinasi dan meremehkan iklim tropis. Arsitektur tropis colonial pun mulai memudar. Arsitek Silaban dan kawan-kawan tampil sebagau penyelamat dan berusaha secara konsisten sampai akhir hayatnya untuk menghadirkan arsitektur tropis Indonesia.dari segi kenyamanan termal, beliau cukup berhasil, tapi tidak cukup berhasil dalam mengekpresikan “Indonesia”nya, karena tetap saja merancang dengan idiom arsitektur modern, dengan kekhasan louvre- louvre pada fadacenya.
Era awal Orde BAru adalah cara erasemakin memudarnya arsitektur tropis. Ia digilas oleh arsitektur modern berAC yang dirancang tanpa AC pun seakan-akan melupakan aspek tropis, sehingga pada suatu saat kita tersentak kaget dengan hadirnya sebuah desain, yang dikerjakan “raksasa” Paul Rudolph, yakni gedung Wisma Dharmala di Jakarta.
Inikah arsitektur tropis yang Indonesia? Saya berpendapat tidak. Karena seluruh bangunan itu dirancang dengan gaya internasional, dan seluruh bangunan menggunakan system penghawaan artificial. Lisplang betonnya yang miring barangkali memang member citra tropis, tapi jelas belum menunjukkan “tropis Indonesia”.
Perkembangan arsitektur Indonesia dimulai pada awal abad ke-19 dengan penguasa Hindia Belanda didirikan pusat kota Weltevreden yang bernama Batavia. Konsep kota itu sendiri dijadikan sebagai areal perumahan dan perkantoran dengan gaya arsitektur daerah tropis. Di areal ini juga di fasilitasi dengan taman yang mengisi jarak antara rumah, bangunan punya banyak bukaan, memiliki atap yang curam, berlantai teraso dan berdinding bata tebal. Hal ini berfungsi untuk menjaga suhu didalam rumah agar tetap sejuk pada siang hari dan hangat pada malam hari. Pada abad ke-20 didirikan pusat kota di kebayoran baru. Areal ini dijadikan tempat satelit. Desain pembangunan kota kebayoran baru ini merupakan percampuran antara eropa barat dan utara serta tata letak kotanya dipengaruhi dengan prinsip letak jawa namun dipengaruhi oleh jalan raya yang lebar serta jalur hijau yang luas. Kebanyakan pembangunan arsitektur dijakarta dimulai setelah adanya proyek mercusuar soekarno, misalnya: hotel indonesia, sarinah, gelora bung karno, by pass, jembatan semanggi, monas, mesjid istiqlal, wisma nusantara, ancol, gedung DPR/MPR.
Perkembangan arsitektur di daerah-daerah
Sumatra. Hanya Bali yang tetap mempertahankan mayoriti Hindu. Agama Islam ini dibawa oleh pedagang Arab dari Parsi dan Gujarat melalui pembauran. Kesultanan kecil Samudra Pasai disebelah utara Sumatra menjadi bandar yang ramai pada masa itu. Berdasarkan catatan Gastaldi (1548), seorang ahli kosmografi dan enjineer dari Italia, pelabuhan atau bandar kesultanan Samudra ebagai yang terbaik di pulau tersebut, dan melalui proses evolusi nama, istilah Sumatra dikenalkan pertama kali oleh orang Eropa Nicholò de’ Conti, sebelumnya Marcopolo menyebut dengan “Samara”, kemudian Friar dan Odoric menyebut dengan “Sumoltra”, Ibnu Battuta menyebut “Samudra”. 2 Melalui evolusi yang sama, nama Borneo pada mulanya adalah nama sebuah pelabuhan Brunei, yang pada masa itu merupakan nama kerajaan terpenting di Kalimantan Barat. Di kepulauan-kepulauan di timur, rohaniawan-rohaniawanKristen dan Islam diketahui sudah aktif pada abad ke-16 dan 17, dan saat ini ada mayoritas yang besar dari kedua agama di kepulauan-kepulauan tersebut. Penyebaran Islam didorong hubungan perdagangan di luar Nusantara; umumnya pedagang dan ahli kerajaan lah yang pertama mengadopsi agama baru tersebut. Kerajaan penting termasuk Mataram di Jawa Tengah, danKesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore di Maluku di timur. Peradaban Eropa, hadir sejak abad ke-16, mula-mula dalam bentuk peradaban Iberia (Spanyol dan Portugis), kemudian Britania Raya, dan Belanda. Marcopolo menjadi orang Eropa pertama yang bercerita tentang perjalanannya ke bandar-bandar pantai utara “Samara” pada tahun 1291.
Mulai tahun 1602 Belanda secara perlahan-lahan menjadi penguasa wilayah Nusantara dengan memanfaatkan perpecahan di antara kerajaan-kerajaan kecil yang telah menggantikan Majapahit. Pada dekad ke-17 dan 18 Hindia-Belanda tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama Perusahaan Hindia Timur Belanda (Verenigde
Oostindische Compagnie atau VOC). VOC telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh parlemen Belanda pada tahun 1602. Markasnya berada di Batavia, yang kini bernamaJakarta. VOC menjadi terlibat dalam politik internal Jawa pada masa itu dan bertempur dalam beberapa peperangan yang melibatkan pemimpin Mataramdan Banten. Setelah VOC jatuh bangkrut pada akhir dekad ke-18 dan setelah kekuasaan Britania yang pendek di bawah Thomas Stamford Raffles, pemerintah Belanda mengambil alih kepemilikan VOC pada tahun 1816. Pada1901 pihak Belanda melancarkan Politik Etis (Ethische Politiek), yang termasuk investasi yang lebih besar dalam pendidikan bagi orang-orangpribumi, dan sedikit perubahan politik. Di bawah gubernur-jendral J.B. van Heutsz pemerintah Hindia-Belanda memperpanjang kekuasaan kolonial secara langsung di sepanjang Hindia-Belanda, dan dengan itu mendirikan fondasi bagi negara Indonesia saat ini. Pada saat ini, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan kota-kota dengan berbagai macam fasilitas seperti bangunan perkantoran, rumah sakit, bangunan ibadah (masjid dan gereja) dan lain sebagainya. Penetrasi Jepang di Asia Tenggara pada tahun 1941 disambut pada bulan yang sama dengan menerima bantuan Jepang untuk mengadakan revolusi terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda terakhir dikalahkan Jepang pada Maret 1942.
A.2. Geografi dan Lingkungan
Nusantara beriklim tropis sesuai dengan letaknya yang melintang di sepanjang garis khatulistiwa. Dataran Indonesia kurang lebih 1.904.000 kilometer persegi terletak antara 60 garis lintang utara dan 110 garis lintang selatan serta 950 dan 1400 garis bujur timur. Dataran ini dibagi menjadi empat satuan geografis yaitu kepulauan Sunda Besar (Sumatra, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi), Kepulauan Sunda Kecil (Lombok, Sumba, Sumbawa, Komodo, Flores, Alor, Savu, dan Lembata), Kepulauan Maluku (Halmahera)
SEJARAH PERKEMBANGAN ARSITEKTUR NUSANTARA
Ternate, Tidore, Seram dan Ambon), dan Irian Jaya beserta kepulauan Aru. Seluruh pulau di Indonesia termasuk dalam zona iklim khatulistiwa dengan suhu yang hampir konstan serta dipengaruhi oleh angin musim dan angin pasat. Secara geologis, Nusantara terdiri dari bentukan vulkanik dan nonvulkanik yang saling berjalin, sehingga Indonesia merupakan wilayah seismik paling aktif di dunia, tercatat kira-kira 500 gempa bumi setahun. Sejak akhir tahun 2004 hingga 2006 tercatat lebih dari 1000 kali gempa bumi. Selain gempa bumi, wilayah Nusantara juga merupakan wilayah yang rawan tsunami, berdasarkan katalog gempa (1629 - 2002) di Indonesia pernah terjadi Tsunami sebanyak 109 kali, terakhir kali bencana tsunami yang paling besar terjadi akhir 2004 melanda wilayah Naggroe Aceh Darussalam.
B. Nusantara dan Jaringan Asia
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, wilayah Nusantara terletak pada persilangan jalan, antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, atau lebih khusus, Benua Asia dan Australia. Persilangan ini telah menjadikan wilayah Nusantara sebagai tempat persinggahan bagi pelayar dan pedagang terutama dari China ke India atau sebaliknya. Selain kedua bangsa Asia ini, terdapat juga pengaruh lain dari berbagai budaya hebat di dunia seperti peradaban Iberia (Spanyol dan Portugis), kemudian Britania Raya, dan Belanda. Dari luas dan letak wilayahnya, Indonesia dikategorikan sebagai negara besar yang cukup berpengaruh di Asia. Jaringan
ini telah berlangsung beratus tahun lamanya, beberapa peninggalan budaya yang nampak atas pengaruh yang pernah singgah masih ada seperti misalnya kebudayaan India pengaruhnya mencakup terhadap penyebaran dan perkembangan Hindu Buddha dan Islam di Indonesia yang bisa diketahui dari tinggalan budayanya yaitu arsitektur candi dan arsitektur masjid bergaya Moghul di Indonesia. Sama halnya dengan India, pengaruh kebudayaan China hingga sekarang ini masih sangat besar dapat terlihat dalam berbagai sapek kehidupan; kepercayaan, bahasa, makanan, sistem pertanian dan lain sebagainya. Kemajuan maritim di China pada masa Dinasti Ming telah membawa pelayar-pelayar tangguh mengarungi wilayah Nusantara. Perdagangan silang antara China dan India telah membuat Nusantara dan Asia Tenggara menjadi tempat persinggahan setiap kali berlayar. Pertukaran budaya terjadi dengan adanya interaksi perdagangan antara pedagang atau pelayar China dengan penduduk setempat yang disinggahi. Terdapat banyak tinggalan sejarah yang mendapat pengaruh peradaban Cina di Indonesia terutama pada klenteng dan bangunan pertokoan yang tersebar pada kota-kota lama di seluruh wilayah Indonesia. Budaya Jepang pertama kali masuk ke Nusantara pada sepertiga abad ke 20. Melalui propaganda militer ”saudara tua” Jepang dengan leluasa masuk ke wilayah Nusantara. Penetrasi politik Jepang selama 3,5 tahun tidak banyak meninggalkan monumen atau tinggalan bangunan bersejarah di Indonesia seperti halnya India dan Cina, akan tetapi kemiripan pada arsitektur vernakular yang sangat dipengaruhi oleh budaya Austronesia menjadi pembahasan yang menarik dalam buku ajar ini. Sebagai salah satu negara
besar dengan konsep arsitektur timur yang kuat pernah menduduki Nusantara maka sangat penting untuk diketahui bagaimana sejarah perkembangan dan konsep arsitektur Jepang.
Pembahasan buku ajar ini selain menjabarkan sejarah perkembangan arsitektur di Indonesia yang mendapatkan pengaruh dari peradaban Asia (India, Cina dan Jepang) di Indonesia juga membahas konsep dan perkembangan arsitektur di ketiga negara tersebut. Arsitektur Nusantara, dan Arsitektur Asia : India, Cina dan Jepang mewakili pemikiran tentang arsitektur timur.
C. Sejarah Perkembangan Arsitektur Indonesia
Perkembangan kebudayaan erat kaitannya dengan sejarah kebangsaan. Secara umum periodisasi sejarah budaya Indonesia dibagi atas tiga bagian besar yaitu Zaman Hindu-Budha, Zaman Islamisasi dan Zaman Modern, dengan proses oksidentalisasi. Sebenarnya terdapat satu zaman lagi sebelum zaman Hindu Buddha yaitu Zaman prasejarah akan tetapi pembahasan serta diskusi tentang zaman ini tidak banyak contoh yang tersisa dalam bidang arsitektur terutama pada masa prasejarah awal.1 Perkembangan arsitektur mulai dari masa Prasejarah Akhir yang ditandai dengan ditemukannya kubur batu di Pasemah, Gunung Kidul dan Bondowoso. Kemudian situs-situs megalitikum punden berundak di Leuwilang, Matesih, Pasirangin. Sebagaimana diketahui bahwa sejarah budaya yang melahirkan peninggalan budaya termasuk arsitektur sejalan dengan periodisasi tersebut diatas, maka dapat dikategorikan sebagai arsitektur percandian, arsitektur selama peradaban Islam (bisa termasuk arsitektur lokal atau tradisional, dan pra modern) dan arsitektur modern (termasuk arsitektur kolonial dan pasca kolonial).
Keberadaan arsitektur lokal yang identik dengan bangunan panggung berstruktur kayu telah ada sebelum atau bersamaan dengan pembangunan candi-candi. Hal ini ditunjukkan dari berbagai keterangan pada relief candi-candi dimana terdapat informasi tentang arsitektur lokal/domestik atau tradisional atau vernakular nusantara. Akan tetapi jikalau menilik usia dari bangunan vernakular yang ada di Indonesia, tidak ada yang lebih dari 150 tahun. Pembahasan pada buku ajar ini tentang perkembangan arsitektur Indonesia dapat diurutkan sebagai berikut :
Arsitektur vernakular
Arsitektur klasik atau candi
Arsitektur pada masa perabadan atau kebudayaan Islam
Arsitektur Kolonial
Arsitektur Modern (pasca kemerdekaan)
Arsitektur Nusantara Pada Era Hindu Budha
A. Kerajaan Hindu dan Budha di Nusantara
Selama era kerajaan Hindu dan Buddha terdapat dua dinasti yang berkuasa sekitar abad ke-8 hingga ke-10 yaitu dinasti Sanjaya dan Syailendra. Dinasti Sanjaya beragama Hindu aliran Siwa, sementara dinasti Syailendra menganut agama Buddha Mahayana atau Vajrayana. Peninggalan dari ketdua dinasti ini berupa prasasti dan candi. Keluarga Sanjaya memiliki kekuasaan di bagian utara Jawa Tengah, dan keluarga Syailendra di bagian Selatan Jawa Tengah. Sehingga dari abad ke-8 dan ke-9, candi yang ada di Jawa Tengah Utara bersifat Hindu, dan yang ada di Jawa Tengah Selatan bersifat Buddha Pembangunan candi terkait dengan kerajaan di Nusantara pada masa perkembangan agama Buddha dan Hindu di Indonesia. Terdapat ratusan prasasti-prasasti yang ditanda tangani oleh raja-raja yang berkuasa ada saat itu.
Keberadaan kerajaan-kerajaan Hindu Budha dimasa lampau diketahui dari prasasti-prasasti. Prasasti dari kerajan tertua di nusantara ditemukan di Kutei, Kalimantan Timur. Prasati ni berbentuk ‘yupa’. Yaitu tugu peringatan upacara kurban. Menurut bentuk dan tulisan yang digunakan, prasasti ini diperkirakan dibuat pada tahun 400 Masehi, prasasti ini menceritakan sebuah kerajaan di Kalimantan timur (Kutei) diperintah oleh seorang raja bernama Mulawarman. Setelah prasasti Kutei ini, terdapat ratusan prasasti yang bercerita tentang kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha di Nusantara sekaligus juga bercerita tentang bangunan suci (candi), bahkan ada nama candi di prasasti yang tidak bisa ditelusuri namanya dengan candi yang dikenal. Umumnya prasasti tersebut dibuat pada abad ke-9. Selain peninggalan prasasti, terdapat pula candi-candi yang didalamnya terdapat arca yang menjadi bukti keberadaan kerajaan-kerajaan tersebut di masa lampau. Ada juga berita tentang keberadaan kerajaan tersebut berasal dari berita ekspedisi pada pendeta Buddha Tiongkok (Cina) ke nusantara misalnya berita dari pendeta I-Tsing yang menyebutkan keberadaan kerajaan Holing (Kaling), kerajaan-kerajaan di Sumatera : Tulang Bawang (Sumatera Selatan), Melayu (Jambi), dan Sriwijaya. Dari I-Tsing diketahui bahwa Sriwijaya merupakan pusat kegiatan ilmiah agama Budha pada masa itu. Buku atau kitab kuno juga merupakan sumber informasi keberadaan kerajaan-kerajaan di masa lampau, seperti kitab Pararaton dan juga kitab Negarakertasari. Berikut adalah rangkuman dari berbagai sumber terhadap beberapa prasasti dan candi peninggalan kerajaankerajaan
pada era Hindu dan Buddha atau sebelumnya.
B. Arsitektur Candi
B.1. Fungsi Candi
Kata Candi pada umumnya dianggap berasal dari kata candikagrha, nama tempat tinggal Candika, Dewi Kematian dan Permaisuri Siwa. Maka, secara harfiah Candi bisa ditafsirkan sebagai bangunan yang digunakan untuk keperluan pemakaman, atau bahkan sebagai makam. 1. Dahulukala, diduga abu dari jenazah seorang raja dikubur dibawah bagian tengah candi (peripih). Sehingga seringkali dulu candi digunakan sebagai tempat pemujaan dan memuliakan raja yang sudah meninggal. Akan tetapi, Candi dibangun bukan semata hanyalah sebagai makam atau tempat pemujaan dan memuliakan raja yang sudah meninggal, lebih dari candi itu, candi juga difungsikan sebagai tempat pemujaan kepada para Dewa yang dilambangkan sebagai arca. Arca
tersebut diletakan di ruang tengah candi dahulu kala hanya Pendeta yang memimpin acara pemuajaan yang diperkenankan masuk kedalam ruang tersebut. Candi lebih diyakini sebagai kuil atau tempat pemujaan daripada sebagai makam.
Tatanan, Bagian dan Konsep Arsitektural Candi
Secara vertikal, struktur bangunan candi terdiri dari tiga bagian yang melambangkan kosmologi atau kepercayaan terhadap pembagian dunia sebagai satu kesatuan alam semesta yang sering disebut dengan ‘Triloka’ terdiri dari dunia manusia (bhurloka), dunia tengah untuk orang-orang yang disucikan (bhuvarloka) kemudian dunia untuk para dewa (svarloka). Ketiga tingkatan
ini, dalam struktur candi adalah digambarkan sebagai bagian kaki, badan dan kepala. Arsitektur candi sering juga diidentikan dengan makna perlambangan Gunung Meru. Dalam mitologi Hindu-Buddha, Gunung Meru adalah sebuah gunung di pusat jagat yang berfungsi sebagai pusat bumi dan mencapai tingkat tertinggi surga. Keyakinan seolah-olah mengatakan bahwa gunung sebagai tempat tinggal para dewa. Pada bangunan candi di Indonesia, selain berbagai macam arca Budha dan para dewa yang terdapat di ruang dalam candi, elemen atau bagian bangunan yang terdapat pada arsitektur candi baik candi Hindu dan Buddha yaitu kala-mekara, peripih, stupa, ratha (mahkota), lingga dan yoni. Kala merupakan makhluk legenda yang diciptakan Siwa untuk membunuh seorang raksasa. Kala ini diwujudkan dalam berbagai variasi bentuk seperti mahkluk aneh tanpa rahang bawah atau hiasan dengan satu mata. Sedangkan Mekara adalah binatang mitologi berbelalai gajah, surai singa, paruh burung nuri, dan ekor seperti ikan, yang semuanya merupakan lambang air dan birahi.2 Hiasan mekara ini sering ditemukan baik pada candi Hindu dan Buddha. Biasanya patung makara ditemukan pada gapura sebagian besar candi klasik awal, makara jarang ditemukan pada jaman klasik akhir di Jawa, tetapi di Sumatra, seperti di kompleks candi Padang Lawas, dimana didirikan perkiraan pada abad 10 mekara ini masih terus digunakan. Peripih adalah sebuah peti batu yang digunakan awalnya sebagai tempat abu jenazah seorang raja, kemudian pada kenyataan lain, peripih digunakan sebagai wadah untuk menaruh unsur-unsur yang melambangkan dunia materi : emas, perak, perunggu, batu akik dan biji-bijian yang diduga sebagai benda-benda upacara pemujaan. Di dalam peripih terdapat bagian-bagian yang diatur dalam pola seperti mandala, sembilan atau 25 titik. 3 Stupa merupakan unsur perlambang Buddha dengan bentuk setengah bulatan mempunyai pengertian falsafah melambangkan “kubah syurga” (Dome og Heaven) atau melambangkan struktur kosmik yang menetap. Biasanya diletakkan di bagian atas candi. Lingga dan yoni adalah sepasang relief atau monumen yang terdapat pada candi Hindu Siwa. Lingga terdiri dari silinder terpadu atau berdiri diatas dasar yang disebut yoni.
Referensi :
- Jati Diri, Prof.Ir.Eko Budihardjo,M.Sc.Alukmni 1997
- Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta,Drs. H.J. Wibow.1998
- Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat, Drs.Dasum Muanas,dkk.1998
Nama kelompok :
- Drieka Kesuma Putri
- Yessica
- Tio Uli Patricia
- Cindy Aprina Mirasari